MATEMATIKA
SEKEDAR HAPALAN
BUKAN
PEMAHAMAN KONSEP
MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Kajian Masalah Pendidikan Matematika dengan dosen
pengampu
Drs. H. Karso, M. M. Pd.
Oleh:
Fathimah
Bilqis 0807557
Pendidikan
Matematika A
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2011
MATEMATIKA SEKEDAR HAPALAN
BUKAN PEMAHAMAN KONSEP
A.
Latar
Belakang
Kajian masalah pendidikan matematika
merupakan salah satu mata kuliah pilihan yang dapat dikontrak pada semester 7
perkuliahan di Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia.
Dalam perkuliahan ini sesuai dengan nama kuliah ‘kajian masalah pendidikan
matematika’ membahas permasalahan seputar pendidikan, matematika, maupun
pendidikan matematika yang dapat dirasakan.
Permasalahan yang ada dewasa ini semakin
kompleks, baik berkaitan dengan bidang pendidikan, matematika, maupun
pendidikan matematika. Dalam perkuliahan ‘kajian masalah pendidikan matematika’
ini, mahasiswa diminta menyajikan sebuah permasalahan yang dianggap layak untuk
disajikan dalam bentuk presentasi.
Adapun salah satu permasalahan
pendidikan matematika menurut penyusun adalah ‘Matematika Sekedar Hapalan,
Bukan Pemahaman Konsep’ yang oleh penyusun telah dipresentasikan pada hari
Kamis, 8 Desember 2011 pada perkuliahan ini.
Penyusun mengambil permasalahan ini
didasari oleh hasil Ujian Nasional 2011 ini. Setiyawan (2011) menyatakan sedikitnya
11.443 siswa sekolah menengah atas atau sekitar 0,78 persen dinyatakan tidak
lulus Ujian Nasional 2011. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun
lalu yang persentase ketidaklulusannya mencapai 0,96 persen. Dari data
Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah tersebut dihitung dari semua siswa yang
mendaftar UN, yaitu 1.476.575 siswa.
Mohammad Nuh (dalam Setiyawan, 2011),
selaku menteri pendidikan dan pengamat pendidikan menyatakan bahwa yang
memasukkan nilai itu sebanyak 1.467.058 atau 99,36 persen atau ada 9.517 yang
tidak memberikan data.
B.
Permasalahan
Permasalahan
banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional memiliki beberapa faktor.
Pranoto (2011) menyatakan bahwa kondisi ujian nasional (UN) mata pelajaran
Matematika yang hanya berkutat pada hafalan dan keterampilan berhitung semata
saat ini merisaukan beberapa matematikawan nasional. Keadaan ini menggiring
pertanyaan, "Bagaimana mungkin assesment (penilaian) Matematika di UN yang
sangat jauh dari sempurna dapat menjadi faktor penentu kelulusan, satu-satunya
maupun bukan satu-satunya?".
Penyusun
sepakat dengan apa yang ddikatakan Pranoto. Siswa selama tiga tahun bersekolah,
dengan diberikan bobot mata pelajaran yang banyak, cukup membuat siswa
kesulitan. Namun seorang dapat membaca keadaan siswanya, apakah dia mengerti
ataukah tidak. Terkadang untuk pelajaran matematika beberapa siswa sering
melakukan kecerobohan, mungkin pada hasil akhir, mungkin juga pada proses
penyelesaiaan. Kesalahan yang diakibatkan oleh kecerobohan siswa dimungkinkan
karena siswa tegang saat mengerjakan soal. Namun seorang guru matematik yang
biasanya memberikan soal uraian pada siswanya, terkadang memaklumi kecerobohan
tersebut, sehingga guru tidak menapikan bagaimana langkah-langkah pengerjaan
yang dilakukan siswa. Kecerobohan-kecerobohan seperti itu dimungkinkan juga
trejadi pada siswa yang berprestasi. Guru dapat menilai siswa tidak hanya pada
hasil akhir, yaitu pada ujian-ujian saja, namun guru biasanya menilai keaktifan
siswa ketika proses pembelajaran.
Tidak
hanya itu, ketidaklulusan siswa mungkin pengaruh dari faktor kesehatan siswa.
Terkadang siswa merasa tegang dalam Ujian Nasional karena dianggap bahwa ini
merupakan sebuah penentu, sehingga tak jarang dari mereka terus memforsir tubuhnya untuk terus belajar agar
ketika ujian dapat mengerjakan dengan baik soal yang ada, tanpa memperhatikan
kondisi tubuhnya.
Dalam
soal Ujian Nasional akan diberikan soal pilihan ganda pada siswa, di mana siswa
hanya di minta untuk melingkari jawaban yang benar. Sekian soal matematika
hanya diberikan waktu yang sedemikian singkat. Tentu siswa dan guru, kepala
sekolah, bahkan orang tua akan memutar otak bagaimanan caranya siswa dapat
mengerjakan soal tersebut dengan benar dan tepat. Hingga akhirnya banyaklah
bermunculan cara-cara cepat untuk menyelesaikan suatu kasus permasalahan
matematika. Bahkan lembaga non-formal pun turut gencar mempromosikan cara-cara
cepatnya. Tak jarang banyak orang tua yang mengkhursuskan anaknya pada lembaga
non-forma tesebut, bimbingan belajar (bimbel). Yang sebenarnya bukan lembaga
bimbingan belajar, melainkan bimbingan ujian menurut penyusun, karena dengan
memberikan cara-cara cepat mencari jawaban, bukan cara cepat pemahaman
matematika. Dengan banyaknya materi yang harus dipahami siswa tak jarang pula
ini menjadi faktor digunakannya cara-cara cepat untuk menyelesaikan soal, bukan
pemahaman konsep.
Siswa
dijejali dengan materi materi dan materi yang tak kunjung selesai dan materi
yang tidak aplikatif. Seringkali untuk mata pelajaran matematika, siswa
kebingungan untu apa dia mempelajarai trigonometri, integral, turunan, limit
dan pokok bahasan lainnya. Yang dia tahu adalah bagaimana dia bisa mengerjakan
soal yang diberikan guru dengan benar dan cepat, sebagai bekal pula untuk ujian
nasional.
Permasalahan
kelulusan maupun ketidaklulusan siswa akan berdampak pada ‘nama baik’ sekolah,
sehingga tak jarang bahkan sudah menjadi wacana umum guru dan kepala sekolah
menggunakan cara-cara yang tidak mencerminkan seorang pendidik, dengan
pencontekan masal. Agar semua siswa dalam sekolah tersebut dapat lulus, dan
membawa ‘nama baik’ sekolah tersebut. Strategi dalam pencotekan masal pun
dilakukan, benar-benar kerja sama yang baik antara siswa, guru dan kepala
sekolah.
Penyusun
merasa aneh, mengapa perlu adanya ujian nasional? Bukankah setiap guru dapat
menilai anak didiknya dengan proses penilaian selama tiga tahun belajar yang
diakumulatifkan, bukan hanya ditentukan oleh sekitar tiga hari saja dalam ujian
nasional. Sebuah hal yang memiliki hubungan yang sangat antara ujian nasional,
penyelesaian cara cepat, banyaknya materi, singkatnya waktu, hingga berhubungan
dengan siapa pembuat kurikulum tersebut.
Dengan
kurikulum yang telah dibuat dengan materi yang padat dan waktu yang singkat,
bagaimana caranya agar semua bahan tersampaikan kepada siswa oleh guru, dengan
waktu yang singkat tidak memungkinkan diberikan pemahaman konsep secara
menyeluruh, sehingga akan mengakibatkan timbulnya jalan pintas yaitu cara cepat
mengerjakan soal, bukan cara cepat paham, dan inilah pula yang akan digunakan
ketika Ujian Nasional.
Ketika
harus ada yang disalahkan, siapakah dalang semua permasalahan ini? Siswa
merupakan korban atas kejadian seperti ini. Sangat wajar siswa tidak paham
konsep matematika karena terlalu banyak dijejali materi oleh guru. Apakah guru
yang salah? Guru pun terdesak melakukan ini, guru diberikan amanah untuk
memberikan semua materi kepada siswanya, karena semua materi tersebut akan
menjadi bahan Ujian Nasional. Guru tak punya banyak waktu untuk memberikan
pemahaman konsep kepada siswa, sehingga cara cepat mengerjakan soal lah yang
menjadi jalan pintas. Guru hanya memberikan siswa hapalan-hapalan, tanpa siswa
paham maksudnya apa. Kurikulumkah yang telah membuat guru melakukan hal
tersebut? Tentu kurikulum melakukan itu, namun pembuatan kurikulum tentu
disesuaikan dengan pemahamannya tentang persoalannya tersebut. Bukankah yang
membuat kurikulum bukan seorang guru? Bagaimana dia mau mengerti bahwa siswa
kesulitan? Pembuatan kurikulum akan disesuaikan dengan pandangan hidup dari
negara tersebut. Karena pendidikan merupakan salah satu aspek penunjang negara.
Sudah sewajarnya negara mengawasi jalannya pendidikan.
Pendidikan
dalam suatu bangsa akan dipengaruhi oleh bagaimanan pandangan hidup yang dianut
oleh bangsa tersebut. Negeri ini menganut pandangan hidup –dalam bahasa
intelktual yaitu ideologi- kapitalisme-sekulerisme. Di mana ideologi ini
merupakan ideologi yang sedang meng-adidaya sekarang ini, dengan negara
pengusung adalah Amerika Serikat.
Pendidikan
indonesia yang kaya akan visi, namun bingung visi mana yang akan dicapai,
sehingga katakanlah pendidikan di negeri ini miskin akan visi, sehingga
pemikiran para pelajar bersifat pragmatis –praktis, bagaimana dia belajara
hanya untuk mencapai materi, menjalani progran studi strata 1, strata 2 hingga
strata 3 hanya untuk memuaskan intelektual, kepuasan pandangan masyarakat
hingga kepuasaan materi (uang), yang semuanya berporos pada materi. Dan untuk
untuk seorang calon guru bagaimana dia bisa lulus cepat, hingga mendapatkan
pekerjaan, tanpa memperhatikan bagaimana pengurusan siswanya kelak.
C.
Solusi
Sekian
banyak permasalahan yang terjadi penyusun sebagai insan akademis tentu akan
mendapati bahwa haruslah dari permasalahan ini ada penyelesaiannya, solusinya.
Dengan permasalahan yang ada ini penyusun sadari bahwa pendidikan yang ada kini
merupakan cerminan dari pandangan hidup negeri ini secara umum katakanlah
ideologi.
Sistem
pendidikan Islam merupakan solusi yang penyusun tawarkan. Abassuni (2011)
menyatakan bahwa lahirnya generasi visioner berasal dari gabungan dunia
pendidikan yang sesuai dengan visi ideologis negara (1) dan dengan dunia kerja
sesuai dengan ideologis negara (2). Dari gabungan kedua hal tersebut akan
lahirlah generasi visioner, yang telah kita bahas sebelumnya bahwa generasi
saat ini merupakan generasi follower,
pengekor.
Menurut
hemat penyusun haruslah permasalahan kompleksnya pendidikan ini diselesaikan
dengan cara sistemik, menyeluruh. Dengan penegakan islam dalam aspek
pendidikan, dan sesungguhnya pendidikan islam tidak akan tegak secara sempurna
tanpa bantuan aspek lainnya seperti ekonomi, politik, paersanksian, pergaulan
dan lainnya. Kesemua aspek terebut haruslah diubah dengan landasan islam,
secara sempurna. Kesempurnaan penerapan islam ini hanya dapat dilakukan dengan
adanya institusi kenegaraan, negara Islam.
Abassuni
(2011) menyatakan bahwa keberhasilan atas pendidikan islam pun akan menuntut
peran serta kurikulum, orang tua dan guru, dan manajemen. Sehingga
diperlukannya komitmen bersama untuk saling menyukseskan pendidikan. Dalam
peran kurikulum, tentu ini merupakan peran negara dalam pembuatannya, yang
dengan sebuah negara memiliki pandangan hidup islam maka akan terimplementasi
kurikulum yang bersesuaian dengan islam. Untuk itu perlulah negara mengawasi
jalannya pendidikan.
D.
Daftar
Rujukan
Abassuni, Febrianti. 2011. Sistem Pendidikan Islam: Melahirkan Generasi
Visioner, Generasi Pemimpin. Power Point. Disajikan dalam acara Konferensi
Intektual Muslimah: 16 Desember 2011.
Pranoto, Iwan. 2011. Ujian Mengukur Kecakapan Kedaluwarsa.
Artikel. Tersedia:http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/13/14102543/Ujian.Mengukur.Kecakapan.Kedaluwarsa.
[8 Desember 2011]
Setiyawan, Iwan. 2011. Tahun Ini 11.443 Siswa SMA Tidak Lulus.
Artikel. Tersedia: [8 Desember 2011]