Kamis, 22 Desember 2011

MATEMATIKA SEKEDAR HAPALAN BUKAN PEMAHAMAN KONSEP


MATEMATIKA SEKEDAR HAPALAN
BUKAN PEMAHAMAN KONSEP
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Masalah Pendidikan Matematika dengan dosen pengampu
Drs. H. Karso, M. M. Pd.


Oleh:
Fathimah Bilqis           0807557
Pendidikan Matematika A
                                                                          
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2011
MATEMATIKA SEKEDAR HAPALAN
BUKAN PEMAHAMAN KONSEP

A.    Latar Belakang
Kajian masalah pendidikan matematika merupakan salah satu mata kuliah pilihan yang dapat dikontrak pada semester 7 perkuliahan di Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam perkuliahan ini sesuai dengan nama kuliah ‘kajian masalah pendidikan matematika’ membahas permasalahan seputar pendidikan, matematika, maupun pendidikan matematika yang dapat dirasakan.
Permasalahan yang ada dewasa ini semakin kompleks, baik berkaitan dengan bidang pendidikan, matematika, maupun pendidikan matematika. Dalam perkuliahan ‘kajian masalah pendidikan matematika’ ini, mahasiswa diminta menyajikan sebuah permasalahan yang dianggap layak untuk disajikan dalam bentuk presentasi.
Adapun salah satu permasalahan pendidikan matematika menurut penyusun adalah ‘Matematika Sekedar Hapalan, Bukan Pemahaman Konsep’ yang oleh penyusun telah dipresentasikan pada hari Kamis, 8 Desember 2011 pada perkuliahan ini.
Penyusun mengambil permasalahan ini didasari oleh hasil Ujian Nasional 2011 ini. Setiyawan (2011) menyatakan sedikitnya 11.443 siswa sekolah menengah atas atau sekitar 0,78 persen dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional 2011. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun lalu yang persentase ketidaklulusannya mencapai 0,96 persen. Dari data Kementerian Pendidikan Nasional, jumlah tersebut dihitung dari semua siswa yang mendaftar UN, yaitu 1.476.575 siswa.
Mohammad Nuh (dalam Setiyawan, 2011), selaku menteri pendidikan dan pengamat pendidikan menyatakan bahwa yang memasukkan nilai itu sebanyak 1.467.058 atau 99,36 persen atau ada 9.517 yang tidak memberikan data.

B.     Permasalahan
Permasalahan banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional memiliki beberapa faktor. Pranoto (2011) menyatakan bahwa kondisi ujian nasional (UN) mata pelajaran Matematika yang hanya berkutat pada hafalan dan keterampilan berhitung semata saat ini merisaukan beberapa matematikawan nasional. Keadaan ini menggiring pertanyaan, "Bagaimana mungkin assesment (penilaian) Matematika di UN yang sangat jauh dari sempurna dapat menjadi faktor penentu kelulusan, satu-satunya maupun bukan satu-satunya?".
Penyusun sepakat dengan apa yang ddikatakan Pranoto. Siswa selama tiga tahun bersekolah, dengan diberikan bobot mata pelajaran yang banyak, cukup membuat siswa kesulitan. Namun seorang dapat membaca keadaan siswanya, apakah dia mengerti ataukah tidak. Terkadang untuk pelajaran matematika beberapa siswa sering melakukan kecerobohan, mungkin pada hasil akhir, mungkin juga pada proses penyelesaiaan. Kesalahan yang diakibatkan oleh kecerobohan siswa dimungkinkan karena siswa tegang saat mengerjakan soal. Namun seorang guru matematik yang biasanya memberikan soal uraian pada siswanya, terkadang memaklumi kecerobohan tersebut, sehingga guru tidak menapikan bagaimana langkah-langkah pengerjaan yang dilakukan siswa. Kecerobohan-kecerobohan seperti itu dimungkinkan juga trejadi pada siswa yang berprestasi. Guru dapat menilai siswa tidak hanya pada hasil akhir, yaitu pada ujian-ujian saja, namun guru biasanya menilai keaktifan siswa ketika proses pembelajaran.
Tidak hanya itu, ketidaklulusan siswa mungkin pengaruh dari faktor kesehatan siswa. Terkadang siswa merasa tegang dalam Ujian Nasional karena dianggap bahwa ini merupakan sebuah penentu, sehingga tak jarang dari mereka terus memforsir tubuhnya untuk terus belajar agar ketika ujian dapat mengerjakan dengan baik soal yang ada, tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.
Dalam soal Ujian Nasional akan diberikan soal pilihan ganda pada siswa, di mana siswa hanya di minta untuk melingkari jawaban yang benar. Sekian soal matematika hanya diberikan waktu yang sedemikian singkat. Tentu siswa dan guru, kepala sekolah, bahkan orang tua akan memutar otak bagaimanan caranya siswa dapat mengerjakan soal tersebut dengan benar dan tepat. Hingga akhirnya banyaklah bermunculan cara-cara cepat untuk menyelesaikan suatu kasus permasalahan matematika. Bahkan lembaga non-formal pun turut gencar mempromosikan cara-cara cepatnya. Tak jarang banyak orang tua yang mengkhursuskan anaknya pada lembaga non-forma tesebut, bimbingan belajar (bimbel). Yang sebenarnya bukan lembaga bimbingan belajar, melainkan bimbingan ujian menurut penyusun, karena dengan memberikan cara-cara cepat mencari jawaban, bukan cara cepat pemahaman matematika. Dengan banyaknya materi yang harus dipahami siswa tak jarang pula ini menjadi faktor digunakannya cara-cara cepat untuk menyelesaikan soal, bukan pemahaman konsep.
Siswa dijejali dengan materi materi dan materi yang tak kunjung selesai dan materi yang tidak aplikatif. Seringkali untuk mata pelajaran matematika, siswa kebingungan untu apa dia mempelajarai trigonometri, integral, turunan, limit dan pokok bahasan lainnya. Yang dia tahu adalah bagaimana dia bisa mengerjakan soal yang diberikan guru dengan benar dan cepat, sebagai bekal pula untuk ujian nasional.
Permasalahan kelulusan maupun ketidaklulusan siswa akan berdampak pada ‘nama baik’ sekolah, sehingga tak jarang bahkan sudah menjadi wacana umum guru dan kepala sekolah menggunakan cara-cara yang tidak mencerminkan seorang pendidik, dengan pencontekan masal. Agar semua siswa dalam sekolah tersebut dapat lulus, dan membawa ‘nama baik’ sekolah tersebut. Strategi dalam pencotekan masal pun dilakukan, benar-benar kerja sama yang baik antara siswa, guru dan kepala sekolah.
Penyusun merasa aneh, mengapa perlu adanya ujian nasional? Bukankah setiap guru dapat menilai anak didiknya dengan proses penilaian selama tiga tahun belajar yang diakumulatifkan, bukan hanya ditentukan oleh sekitar tiga hari saja dalam ujian nasional. Sebuah hal yang memiliki hubungan yang sangat antara ujian nasional, penyelesaian cara cepat, banyaknya materi, singkatnya waktu, hingga berhubungan dengan siapa pembuat kurikulum tersebut.
Dengan kurikulum yang telah dibuat dengan materi yang padat dan waktu yang singkat, bagaimana caranya agar semua bahan tersampaikan kepada siswa oleh guru, dengan waktu yang singkat tidak memungkinkan diberikan pemahaman konsep secara menyeluruh, sehingga akan mengakibatkan timbulnya jalan pintas yaitu cara cepat mengerjakan soal, bukan cara cepat paham, dan inilah pula yang akan digunakan ketika Ujian Nasional.
Ketika harus ada yang disalahkan, siapakah dalang semua permasalahan ini? Siswa merupakan korban atas kejadian seperti ini. Sangat wajar siswa tidak paham konsep matematika karena terlalu banyak dijejali materi oleh guru. Apakah guru yang salah? Guru pun terdesak melakukan ini, guru diberikan amanah untuk memberikan semua materi kepada siswanya, karena semua materi tersebut akan menjadi bahan Ujian Nasional. Guru tak punya banyak waktu untuk memberikan pemahaman konsep kepada siswa, sehingga cara cepat mengerjakan soal lah yang menjadi jalan pintas. Guru hanya memberikan siswa hapalan-hapalan, tanpa siswa paham maksudnya apa. Kurikulumkah yang telah membuat guru melakukan hal tersebut? Tentu kurikulum melakukan itu, namun pembuatan kurikulum tentu disesuaikan dengan pemahamannya tentang persoalannya tersebut. Bukankah yang membuat kurikulum bukan seorang guru? Bagaimana dia mau mengerti bahwa siswa kesulitan? Pembuatan kurikulum akan disesuaikan dengan pandangan hidup dari negara tersebut. Karena pendidikan merupakan salah satu aspek penunjang negara. Sudah sewajarnya negara mengawasi jalannya pendidikan.
Pendidikan dalam suatu bangsa akan dipengaruhi oleh bagaimanan pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut. Negeri ini menganut pandangan hidup –dalam bahasa intelktual yaitu ideologi- kapitalisme-sekulerisme. Di mana ideologi ini merupakan ideologi yang sedang meng-adidaya sekarang ini, dengan negara pengusung adalah Amerika Serikat.
Pendidikan indonesia yang kaya akan visi, namun bingung visi mana yang akan dicapai, sehingga katakanlah pendidikan di negeri ini miskin akan visi, sehingga pemikiran para pelajar bersifat pragmatis –praktis, bagaimana dia belajara hanya untuk mencapai materi, menjalani progran studi strata 1, strata 2 hingga strata 3 hanya untuk memuaskan intelektual, kepuasan pandangan masyarakat hingga kepuasaan materi (uang), yang semuanya berporos pada materi. Dan untuk untuk seorang calon guru bagaimana dia bisa lulus cepat, hingga mendapatkan pekerjaan, tanpa memperhatikan bagaimana pengurusan siswanya kelak.

C.    Solusi
Sekian banyak permasalahan yang terjadi penyusun sebagai insan akademis tentu akan mendapati bahwa haruslah dari permasalahan ini ada penyelesaiannya, solusinya. Dengan permasalahan yang ada ini penyusun sadari bahwa pendidikan yang ada kini merupakan cerminan dari pandangan hidup negeri ini secara umum katakanlah ideologi.
Sistem pendidikan Islam merupakan solusi yang penyusun tawarkan. Abassuni (2011) menyatakan bahwa lahirnya generasi visioner berasal dari gabungan dunia pendidikan yang sesuai dengan visi ideologis negara (1) dan dengan dunia kerja sesuai dengan ideologis negara (2). Dari gabungan kedua hal tersebut akan lahirlah generasi visioner, yang telah kita bahas sebelumnya bahwa generasi saat ini merupakan generasi follower, pengekor.
Menurut hemat penyusun haruslah permasalahan kompleksnya pendidikan ini diselesaikan dengan cara sistemik, menyeluruh. Dengan penegakan islam dalam aspek pendidikan, dan sesungguhnya pendidikan islam tidak akan tegak secara sempurna tanpa bantuan aspek lainnya seperti ekonomi, politik, paersanksian, pergaulan dan lainnya. Kesemua aspek terebut haruslah diubah dengan landasan islam, secara sempurna. Kesempurnaan penerapan islam ini hanya dapat dilakukan dengan adanya institusi kenegaraan, negara Islam.
Abassuni (2011) menyatakan bahwa keberhasilan atas pendidikan islam pun akan menuntut peran serta kurikulum, orang tua dan guru, dan manajemen. Sehingga diperlukannya komitmen bersama untuk saling menyukseskan pendidikan. Dalam peran kurikulum, tentu ini merupakan peran negara dalam pembuatannya, yang dengan sebuah negara memiliki pandangan hidup islam maka akan terimplementasi kurikulum yang bersesuaian dengan islam. Untuk itu perlulah negara mengawasi jalannya pendidikan.

D.    Daftar Rujukan
Abassuni, Febrianti. 2011. Sistem Pendidikan Islam: Melahirkan Generasi Visioner, Generasi Pemimpin. Power Point. Disajikan dalam acara Konferensi Intektual Muslimah: 16 Desember 2011.
Pranoto, Iwan. 2011. Ujian Mengukur Kecakapan Kedaluwarsa. Artikel. Tersedia:http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/13/14102543/Ujian.Mengukur.Kecakapan.Kedaluwarsa. [8 Desember 2011]
Setiyawan, Iwan. 2011. Tahun Ini 11.443 Siswa SMA Tidak Lulus. Artikel. Tersedia: [8 Desember 2011]

Tugas Edit Foto, After


Tugas Edit Bangunan, After

Tugas Edit Bangunan, Before

Tugas Edit Foto, Before

Tugas Edit Foto, After


Tugas 1 Power Point, Irisan Bidang

http://www.4shared.com/file/tT5kqG40/TUGAS1_urai.html

Senin, 12 Desember 2011

Iklan CIMB

CATATAN INTELEKTUAL MUSLIMAH UNTUK BANGSA :
SISTEM PENDIDIKAN PRAGMATIS SEBAGAI FAKTOR PENDORONG ESENSIAL BAGI RUSAKNYA KUALITAS GENERASI
 
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari pentingnya melahirkan generasi berkualitas. Generasi berkualitas yang ideal adalah generasi yang melahirkan barisan pemimpin bangsa yang tidak hanya memiliki keahlian, melainkan juga memiliki kepribadian istimewa yang ditunjukkan oleh integritasnya pada nilai-nilai kebenaran. Jika kita menilik kondisi generasi yang ada di Indonesia, maka nampaknya masih jauh dari gambaran generasi berkualitas. Pada level akar rumput kita dapati banyak terjadi konflik horisontal baik yang dilakukan pelajar bahkan mahasiswa, serta pudarnya pergerakan mahasiswa yang kritis, cerdas, dan pro rakyat. Sementara di tingkat elit, fenomena munculnya pemimpin-pemimpin muda tanpa integritas pada pentas politik adalah problem serius. Walhasil, di negeri ini sangat langka mendapati sosok pemimpin berintegritas yang bisa melindungi rakyat.
Kualitas generasi suatu bangsa tentu sangat ditentukan oleh bagaimana sistem pendidikan yang diselenggarakan negara terhadap rakyatnya. Sementara itu, sistem politik dan sistem ekonomi memiliki pengaruh signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem pendidikannya. Sistem politik dan sistem ekonomi pragmatis akan berpengaruh signifikan dalam membentuk sistem pendidikan yang juga pragmatis. Kiranya itulah yang saat ini terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Bagaimana sesungguhnya sistem pendidikan pragmatis menjadi faktor yang signifikan dalam merusak kualitas generasi? Bagaimana pula sistem pendidikan Islam membangun generasi berkualitas yang mampu membangun peradaban yang tinggi?  Temukan jawabannya dalam CATATAN INTELEKTUAL MUSLIMAH UNTUK BANGSA : SISTEM PENDIDIKAN PRAGMATIS SEBAGAI FAKTOR PENDORONG ESENSIAL BAGI RUSAKNYA KUALITAS GENERASI, Jumat, 16 Desember 2011, pukul 09.00-13.00 @ Wisma Antara Jakarta.

Kamis, 17 November 2011

Pesan Jurusan, Industri Pendidikan


Pesan Jurusan, Industri  Pendidikan
Oleh:
Fathimah Bilqis
Mahasiswa Pendidikan matematika 2008 Universitas Pendidikan Indonesia
0857 2275 6329

Perguruan tinggi merupakan institusi yang menjadi basis aktivitas intelektual, oleh karena itu pengelolaan kekayaan intelektual merupakan kebutuhan esensial yang harus dipenuhi. (Djoko Kustono)
Saya seorang mahasiswa tingkat 4, katakanlah selama 4 tahun kita berkuliah, tentu selama itu telah berinteraksi dengan dosen, mahasiswa lain, bahkan civitas akademik lainnya, baik secara struktural maupun non-struktural, tentu banyak yang akan kita dapatkan. Sebagai insan akademis pula, mahasiswa memiliki akses terhadap perkembangan ilmu dan informasi, pun dapat menyerap dan membangun pemikiran.
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) adalah perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan akademik dalam disiplin ilmu pendidikan khususnya. Sebagian besar fakultas dan jurusan IKIP mencetak mahasiswanya untuk menjadi guru atau tenaga dalam bidang kependidikan lainnya. (Wikipedia). Namun pada tahun 90-an, seiring dengan berubahnya nama IKIP menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), diadakannya jurusan-jurusan baru saat itu seperti ilmu murni, teknik, dan program profesi lainnya.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) merupakan perguruan tinggi berskala nasional. Pun hingga saat ini masih menjadi pusat perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sehingga UPI dijadikan kiblat perguruan tinggi yang fokus pada pendidikan. Kini UPI semakin melebarkan sayapnya dalam pembukaan jurusan, adanya Jurusan Keperawatan, IPSE (international program science on education), dan jurusan lainnya, bahkan saya melihat terpampang tulisan akan dibangun Fakultas Kedokteran disini (baca: UPI), hingga adanya Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.
Apakah yang melatarbelakangi dibukanya berbagai jurusan hingga fakultas? Yang bolehlah dikatakan tidak sesuai dengan fokus pendidikan di Universitas ini.
Adanya Jurusan Keperawatan UPI yang termasuk ke dalam FPOK ini merupakan suatu kesempatan untuk UPI memiliki program studi yang bisa menjadi Leading dan Oustanding dalam penyediaan tenaga perawat dengan konsentrasi keahlian gerontology yang profesional dan dapat bersaing secara global untuk pasar dalam negeri dan luar negeri. Pada tanggal 20 Januari 2010 Indonesia dan Taiwan menandatangani kesepakatan mengenai penyedian 2500 tenaga perawat lansia untuk memenuhi kebutuhan negara Taiwan. Di Korea keperluan tenaga perawat ini juga cukup besar, berdasarkan informasi dari BNP2TKI Negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, dsb juga memerlukan tenaga perawat dari Indonesia untuk bisa bekerja di sana. Bahkan lebih jauh Direktur Kerjasama Luar Negeri Kawasan Asia Pasific, BNP2TKI Dr. Haposan Saragih dalam sambutan Hari Rawat Dunia dan Pecanangan Hari Kebangkitan Perawat Indonesia mengatakan Kanada memerlukan hampir 1 juta perawat, Amerika Serikat memerlukan 1 juta perawat dan Inggris 3000 perawat. Benarlah bahwa pembukaan jurusan keperawatan ini merupakan pesanan. (dalam Halaman Utama, www.keperawatan-upi.com)
Pendidikan di Indonesia terrepresentasi dalam kampus ini, UPI, sudah mengalami pergeseran peran, dari jasa sosial menjadi industri jasa, sehingga pendidikan dikomersilkan. Lihatlah Jurusan Keperawatan UPI ini yang menjadi contohnya. Lihatlah pula orientasi belajar para mahasiswa yang berorientasi pada kerja, tak lagi pada ilmu itu sendiri. Sehingga apapun proses yang dilalui, akan berorientasi pada hasil, karena pada lapangan pekerjaan tidak melihat proses melainkan hasil pembelajaran itu sendiri. Untuk itu tanpa diikuti dengan agama dan moral cara apapun ditempuh untuk mendapakan hasil yang dinginkan (baca: pekerjaan), meski dengan mencontek.
Pengaruh global (baca: kapitalisme) yang masuk dalam pendidikan di Indonesia ini (baca: UPI) telah mengubah masa depan dunia pendidikan menjadi sebuah alat produksi, yang hanya fokus ada penekanan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar (baca: kapitalisme). Pendidikan seperti ini merupakan pendidikan yang pragmatis, dikarenakan penyelesaian permasalahan pendidikan diberikan atas fakta yang ada, seperti dalam UPI adanya Jurusan Keperawatan merupakan pesanan dari negara lain, sehingga untuk lulusan keperawatan tersebut akan terjamin lapangan kerja untuk mereka, melihat semakin sempitnya lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah, sehingga jurusan ini merupakan jurusan yang diminati masyarakat, melihat orientasi mereka pada pekerjaan. Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. (Wikipedia)
Pendidikan di Indonesia ini merupakan pendidikan yang pragmatis yang tentu ini merupakan solusi pendidikan yang salah. Tentulah diperlukan pendidikan yang ideal. Pendidikan seperti apa pendidikan yang ideal tersebut? Mayoritas penduduk Indonesia beragama islam, maka haruslah kita melihat bagaimana pendidikan di dalam islam, terlebih dalam kampus saya, yang mana terrepresentatif pendidikan se-Indonesia, memiliki motto religius.
Pendidikan dalam Islam akan bertujuan pada syaksiyah islamiyah (berkepribadian islam) yang akan menghasilkan pola pikir islam dan pola sikap islam, tentu memperlihatkan orientasi pada proses bukan pada tujuan pekerjaan yang memiliki orientasi pada hasil. Yang sehingga dalam peserta didik (baca: mahasiswa) akan tercipta kejujuran dalam pendidikan, melihat pada kondisi saat ini kejujuran dalam pendidikan sangat mahal sekali. Mereka akan berusaha dengan menempuh proses yang baik untuk menciptakan hasil yang baik pula, karena mereka paham bahwa proseslah yang akan dilihat, bukan hasil.
Dalam pendidikan islam ini tidak akan dapat tercapai tanpa adanya penunjang dari bidang sistem lain, sehingga untuk mendapatkan pendidikan islam semua aspek haruslah berlandaskan islam. Hanya institusi Negaralah yang mampu mewujudkannya, Khilafah Islamiyah.
Wallahu ‘alam bi ash showab
(kirim ke Detik.com sbgai Opini Anda, 14 Nopember 2011)